JAKARTA II cyberpena.com – Praktisi hukum Dr Urbanisasi menegaskan tidak benar dalam putusannya Mahkamah Kontitusi (MK) mengijinkan perusahaan leasing atau debt collector boleh mengambil paksa atau menyita barang jaminan kredit.
Yang benar, MK dalam putusannya tetap menjadikan pengadilan sebagai mandatory terkait penyitaan barang jaminan kredit.
“Putusan MK sudah jelas, menolak permohonan judicial review tentang UU Jaminan Fidusia yang diajukan oleh Joshua Michael Djami. Dalam putusannya MK menyatakan ada ketentuan larangan eksekusi mandiri tanpa pengadilan harus melalui pengajuan eksekusi melalui PN pada dasarnya memberi keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur,” papar Urbanisasi di Jakarta, Sabtu (11/9/2021)
Pernyataan Urbanisasi ini disampaikan menanggapi klaim Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) yang mengklaim bahwa dalam putusannya, MK mengijinkan eksekusi penyitaan barang kredit dari debitur bisa dilakukan tanpa melalui proses Pengadilan Negeri.
“Diharapkan multitafsir eksekusi jaminan fidusia kini menjadi jelas dan eksekusi melalui putusan pengadilan hanya alternatif atau pilihan bagi penerima fidusia,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, (06/09/2021).
Namun persepsi APPI ini diluruskan oleh Urbanisasi agar tidak salah paham dalam membaca putusan MK. Menurut Staf Pengajar Hukum Bisnis ini, debt collector atau lembaga leasing tak mempunyai kewenangan menyita barang jaminan kredit milik nasabah.
“Karena dalam hukum kita yakni KUHAP sudah diatur bahwa penyitaan barang hanya bisa dilakukan melalui aparat penegak hukum atau putusan pengadilan, ini tak boleh dilanggar,” tegas Staf Pengajar Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara ini.
Menurut Urbanisasi, penagih utang (debt collector) yang menarik kendaraan secara paksa dari pemilik yang sah adalah perbuatan pidana. Dia menjelaskan jika ada penagih utang melakukan aksi tersebut dapat disangkakan melakukan perbuatan tidak menyenangkan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 335 ayat 1 dengan pasal berlapis Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 jo Pasal 53 KUHP).
“Hal ini untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi,” katanya.
Lebih lanjut Urbanisasi menyebutkan bahwa dalam bunyi putusan MK tersebut sudah tegas mengatur bahwa adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sebagai sebuah alternatif yang bisa dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
“Jadi disini jelas jika debitur tidak mau menyerahkan barang jaminan maka leasing harus menggunakan jalur pengadilan, karena negara kita negara hukum, tidak kemudian boleh sewenang-wenang mengambil paksa,” papar Doktor jebolan FH Universitas Hasanudin, Makassar ini.
Karena cara mengambil paksa atau menyita akan menimbulkan problem hukum baru di Masyarakat nantinya. Misalnya akan sering menimbulkan kegaduhan atau terjadi bentrokan antar masyarakat. “Hal ini yang harus dihindari,” tegasnya.
Urbanisasi membenarkan bahwa dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menyebutkan, debitur yang mengakui ada wanprestasi, maka ia bisa menyerahkan sendiri objek jaminan fidusia kepada kreditur. Menurut Urbanisasi, eksekusi memang bisa dilakukan langsung oleh kreditur jika debitur mengakui ada wanprestasi.
“Kalau menyerahkan secara sukarela memang tak perlu lagi harus meminta putusan atau meminta bantuan Pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi, tapi jika ada sengketa maka wajib ke pengadilan,” kata pendiri Lembaga Pendidikan Hukum LemdikPhiterindo ini.
Sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review tentang UU Jaminan Fidusia yang diajukan oleh Joshua Michael Djami. Dalam pertimbangannya, MK menyinggung soal proses hukum penyitaan kendaraan oleh leasing.
Joshua menggugat UU Jaminan Fidusia kembali agar mempermudah leasing menagih kendaraan. Tapi apa kata MK?
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK yang sebagaimana dikutip detikcom, Kamis (9/9/2021).
Joshua merupakan karyawan leasing. Baginya, penagihan kendaraan sekarang menjadi sulit sejak MK memutuskan penagihan leasing harus melalui proses pengadilan pada 2019.
Putusan menolak permohonan judicial review tentang UU Jaminan Fidusia yang diajukan Joshua itu diketok secara bulat pada 31 Agustus kemarin oleh majelis hakim Anwar Usman, Aswanto, Daniel Yusmic P Foekh, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams.
Dalam putusan itu, MK menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain proses eksekusi lama, biaya eksekusi lebih besar dibanding pendapatan barang fidusia, dan berpotensi hilangnya objek jaminan di tangan debitur, sesungguhnya lebih kepada persoalan- persoalan konkret.
“Hal tersebut dapat saja terjadi dalam hubungan hukum antarprivat yang sifatnya sangat spesifik dan kompleks. Dalam batas penalaran yang wajar, hal-hal tersebut tidak dapat diakomodir dengan selalu menyelaraskan norma dari undang-undang yang bersangkutan,” ujar MK.
Terlebih lagi, terhadap norma yang memang tidak terdapat persoalan konstitusionalitasnya. Apalagi norma yang dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
“Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia,” tutur MK. (Red)